Dony #153 JRC
Rabu, 28 Oktober 2020
Kamis, 06 Desember 2012
Perbedaan Sinyal/Isyarat Analog Dengan Digital
Perbedaan
Sinyal/Isyarat Analog Dengan Digital
Sinyal
Analog
Signal yang berupa
gelombang elektro magnetik dan bergerak atas dasar fekuensi. Frekuensi adalah
jumlah getaran bolak balik sinyal analog dalam satu siklus lengkap per detik.
Satu siklus lengkap terjadi saat gelombang berada pada titik bertegangan nol,
menuju titik bertegangan positif tertinggi pada gelombang, menurun ke titik
tegangan negatif dan menuju ke titik nol kembali (lihat gambar). Semakin tinggi
kecepatan atau frekuensinya semakin banyak siklus lengkap yang terjadi pada
suatu periode tertentu. Kecepatan frekuensi tersebut dinyatakan dalam hertz.
Sebagai contoh sebuah gelombang yang berayun bolak balik sebanyak sepuluh kali
tiap detik berarti memiliki kecepatan sepuluh hertz.
Signal
Digital
Sebagai
ganti gelombang maka signal pada sistem digital ditransmisikan dalam bentuk bit
bit biner. Sistem biner adalah sistem on – off (atau sistem 1 – 0 ), jadi bila
ada tegangan atau on maka di angkakan 1, sedang bila tidak ada tegangan
atau off maka diangkakan 0. Meski memiliki kelemahan terhadap nosie
inteferensi listrik apabila jarak semakin jauh, namun signal digital masih
dapat diperbaiki atau “direparasi” artinya dengan cara membangkitkan ulang
bit-bit tersebut dengan tidak meregenerasi noise. Sebagai perbedan maka dapat
di lihat pada gambar di bawah ini :
Gambar.
Perbedaan signal analog dan digital
Contoh sistem digital
saat ini (sebelumnya sistem analog):
·
Audio recording (CDs, DAT, mp3)
·
Phone system switching
·
Automobile engine control
Contoh sistem analog :
·
Perekam pita magnetic
·
Penguat audio
MENCEGAH DAN
MENANGGULANGI KEBAKARAN
(Oleh: Djoko
Kustono)
Kebakaran
selalu menelan banyak kerugian baik moril, materiil bahkan sering kali juga
keselamatan manusia. Bila kebakaran tersebut menimpa fasilitas publik misalnya
Pasar Besar di kota Malang, Pasar Tanah Abang di Jakarta, Gedung BI di Jakarta
dan lain sebagainya maka yang menderita kerugian tentu masyarakat banyak. Di
lihat dari segi rehabilitasi fasilitas maka kecelakaan akibat kebakaran
memerlukan waktu yang relatif lama belum lagi kerugian yang mustahil direcoveri
seperti arsip, barang antic, sertifikat dan lain sebagainya. Oleh karena itu
mencegah terjadinya kebakaran merupakan pilihan utama dalam teknologi
penanggulangan kebakaran. Dari sisi legal formal disebutkan dalam UU No. 1
Tahun 1970 “Dengan perundangan ditetapkan persyaratan keselamatan kerja untuk
mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran”. Kemudian diikuti dengan
peraturan lain misalnya: Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.186/MEN/1999 Tentang Unit Penanggulangan
Kebakaran di Tempat Kerja dan lain sebabagainya menyebutkan dalam Pasal ayat 1
“Pengurus atau Perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan
kebakaran, menyelenggarakan latihan penganggulangan kebakaran di tempat kerja”
Bahaya kebakaran adalah bahaya yang ditimbulkan oleh
adanya nyala api yang tidak terkendali. Sedangkan Penanggulangan kebakaran
ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya
pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan
sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk
memberantas kebakaran.
Pencegahan kebakaran adalah segala usaha yang dilakukan
agar tidak terjadi penyalaan api yang tidak terkendali. Pencegahan kebakaran
mengandung dua pengertian yaitu (1) penyalaan api belum ada dan usaha
pencegahan ditujukan agar tidak terjadi penyalaan api. Contoh dari tindakan ini
adalah dengan memisahkan bahan mudah terbakar pada ruang khusus, membuat aturan
pencegahan kebakaran, memasang rambu dilarang merokok dan seterusnya. (2)
Penyalaan api sudah ada dan usaha pencegahan ditujukan agar api tetap
terkendali. Contoh dari tindakan ini adalah mengatur nyala api di dalam ruang
tempa, ketel uap, dapur pemanas dan lain sebagainya.
Pencegahan kebakaran menurut Kepmen No. 186/Men/1999
adalah mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja yang
meliputi: (1) pengendalian setiap bentuk energi; (2) penyediaan sarana deteksi,
alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi; (3) pengendalian penyebaran
asap, panas dan gas; (4) pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat
kerja, (5) penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara
berkala dan (6) memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran,
bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga
kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
Dari segi strategi pemadaman ada dua cara penting yang
perlu diperhatikan yaitu (1) teknik dan (2) taktik pemadaman kebakaran. Teknik
pemadaman kebakaran yaitu kemampuan
mempergunakan alat dan perlengkapan pemadaman kebakaran dengan sebaik-baiknya.
Agar menguasai teknik pemadaman kebakaran maka seseorang harus mempunyai
pengetahuan tentang penanggulangan kebakaran, bersikap positif terhadap
penanggulangan kebakaran, terlatih dan terampil mempergunakan berbagai alat
serta perlengkapan kebakaran.
Taktik pemadaman kebakaran adalah kemampuan menganalisis
situasi sehingga dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat tanpa
menimbulkan kerugian yang lebih besar. Taktik ini terkait dengan analisis
terhadap unsur-unsur pengaruh angin, warna asap kebakaran, material utama yang
terbakar, lokasi dan lain sebagainya.
3.2. Penyebab
Kebakaran
Berbagai
sebab kebakaran dapat diklasifikasikan sebagai (1) kelalaian, (2) kurang
pengetahuan, (3) peristiwa alam, (4) penyalaan sendiri, dan (5) kesengajaan.
1. Kelalaian
Kelalaian
merupakan penyebab terbanyak peristiwa kebakaran. Contoh dari kelalaian ini
misalnya: lupa mematikan kompor, merokok di tempat yang tidak semestinya,
menempatkan bahan bakar tidak pada tempatnya, mengganti alat pengaman dengan
spesifikasi yang tidak tepat dan lain sebagainya.
2. Kurang
pengetahuan
Kurang
pengetahuan tentang pencegahan kebakaran merupakan salah satu penyebab kebakaran
yang tidak boleh diabaikan. Contoh dari kekurang pengetahuan ini misalnya tidak
mengerti akan jenis bahan bakar yang mudah menyala, tidak mengerti tanda-tanda
bahaya kebakaran, tidak mengerti proses terjadinya api dan lain sebagainya.
3. Peristriwa alam
Peristiwa
alam dapat menjadi penyebab kebakaran. Contoh: gunung meletus, gempa bumi,
petir, panas matahari dan lain sebagainya.
4. Penyalaan
sendiri.
Api bisa
terbentuk bila tiga unsur api yaitu bahan bakar, oksigen (biasanya dari udara)
dan panas bertemu dan menyebabkan reaksi rantai pembakaran. Contoh: kebakaran
di hutan yang disebabkan oleh panas matahari yang menimpa bahan bakar kering di
hutan.
5. Kesengajaan
Kebakaran
bisa juga disebabkan oleh kesengajaan misalnya karena unsur sabotase,
penghilangan jejak, mengharap pengganti dari asuransi dan lain sebagainya.
3.3. Segitiga Api
Api
terjadi dari tiga unsur yaitu (1) bahan bakar, (2) Oksigen dan (3) panas. Bahan
bakar yang mudah terbakar tersebut misalnya: kayu, kertas, karet, plastik dan
lain sebagainya. Oksigen biasanya didapat dari udara. Udara mengandung 21 %
oksigen suatu tempat dikatakan masih memiliki keaktifan pembakaran bila kadar
oksigennya lebih dari 15 %. Sedang bila kurang dari 12 % tidak akan terjadi
pembakaran.
Nyala api terjadi Karena adanya unsur bahan bakar, panas
dan oksigen yang berjalan dengan cepat dan seimbang. Ke tiga unsur api tersebut
seringkali digambarkan sebagai segi tiga api. (Gambar 3.1. a). Beberapa
referensi menambahkan reaksi rantai sebagai unsur yang harus ada sehingga
menjadi Tetrahedron Api (Gambar 3.1b).
Dasar dari system pemadaman api adalah merusak
keseimbangan reaksi api. Hal ini dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu (1) memisahkan panas atau mendinginkan,
Gambar 3.1.b, (2) mengisolasi yaitu memisahkan oksigen (udara), Gambar 3.1.c;
(3) menguraikan yaitu memisahkan bahan bakar (Gambar 3.1.d) dan (4) merusak
reaksi rantai api.
Gambar 3.1. Segitiga Api, dan Tetrahedron Api
Gambar 3.2. Pendinginan, Isolasi dan Penguraian
3.3. Klasifikasi
Kebakaran
Dengan
semakin meningkatnya teknologi maka diversifikasi bahan bakar juga semakin
meluas. Berbagai jenis bahan bakar dan teknis pembakarannya mendorong para
ilmuwan kebakaran untuk menggolongkan jenis kebakaran menurut bahan bakar yang
terbakar karena cara ini dipandang paling efektif di dalam menentukan teknik
dan taktis pemadaman kebakaran. Klasifikasi kebakaran dimaksudkan sebagai
penggolongan atau pembagian jenis kebakaran berdasarkan jenis bahan bakar yang
terbakar. Pembagian atau penggolongan ini bertujuan agar diperoleh kemudahan
dalam menentukan cara pemadamannya. Namun demikian ternyata belum ada
kesepakatan yang berlaku secara menyeluruh terhadap pengklasifikasian ini.
Masing-masing negara atau asosiasi ahli memiliki klasifikasi sendiri-sendiri.
1. Klasifikasi di
Indonesia
Klasifikasi
kebakaran di Indonesia mengacu kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Per. 04/Men/1980 tanggal 14 April 1980 Tentang syarat-syarat
Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Klasifikasi
tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Klas A: Bahan bakar padat (bukan logam)
(2) Klas B: Bahan bakar cair atau gas yang mudah terbakar
(3) Klas C: Instalasi listrik bertegangan
(4) Klas D: Kebakaran logam
2. Klasifikasi
Eropa
Klasifikasi
di Eropa sesudah tahun 1970 mengacu kepada Comite European de Normalisation
sebagai berikut.
(1) Klas A: Bahan bakarnya bila terbakar meninggalkan abu
(2) Klas B: Bahan bakar cair. Contoh: bensin, solar, spiritus
dan lain sebagainya
(3) Klas C: Bahan bakar gas. Contoh: LNG, LPG dan lain
sebagainya
(4) Klas D: Bahan bakar logam. Contoh: magnesium, potasium
dan lain sebagainya.
3. Klasifikasi
Amerika National Fire Protection
Association (NFPA)
(1) Klas A: Bahan bakarnya bila terbakar meninggalkan abu
(2) Klas B: Bahan bakar cair atau yang sejenis
(3) Klas C: Kebakaran karena listrik
(4) Klas D: Kebakaran logam
Label menurut klasifikasi NFPA untuk fire extinguisher
seperti gambar berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 3.3 Label Jenis Kebakaran Menurut NFPA
4. Klasifikasi
Amerika U.S. Coast Guard
(1) Klas A: Bahan bakar padat
(2) Klas B: Bahan bakar cair dengan titik nyala lebih kecil
dari 170 derajat Fahrenheit dan tidak larut dalam air misalnya: bensin, benzena
dan lain sebagainya
(3) Klas C: Bahan bakar cair dengan titik nyala lebih kecil
dari 170 derajat Fahrenheit dan larut dalam air misalnya: ethanol, aceton dan
lain sebagainya
(4) Klas D: Bahan bakar cair dengan titik nyala lebih besar
atau sama dengan 170 derajat Fahrenheit dan tidak larut dalam air
misalnya:minyak kelapa, minyak pendingin trafo dan lain sebagainya
(5) Klas E: Bahan bakar cair dengan titik nyala sama dengan
atau lebih tinggi dari 170 derajat Fahrenheit dan larut dalam air misalnya:
gliserin, etilin dan lain sebagainya
(6) Klas F: Bahan bakar logam misalnya: magnesium, titanium
dan lain sebagainya
(7) Klas G: Kebakaran listrik.
3.4. Media Pemadam
Api
Media
pemadam api yang biasa digunakan adalah (1) air, (2) busa, (3) karbon dioksida,
(4) gas halon serta pasca halon dan (5) serbuk kimia kering. Cara kerja dari ke
lima media pemadam api tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Air.
Air
merupakan media pemadam api yang paling umum digunakan, karena air dipandang
memiliki berbagai sifat yang baik untuk memadamkan api dan relatif mudah dan
murah didapatkan dalam jumlah yang banyak. Pada kondisi normal air mempunyai
panas laten penguapan 2250 kJ/kg. Dengan sifat ini maka air sangat mudah untuk
mendinginkan api (memisahkan panas dari unsur api).
Perbandingan
volume air dengan uap hampir 1500 kali, artinya setiap meter kubik air akan
menghasilkan sekitar 1500 kubik uap air pada kondisi atmosfer. Uap yang
terbentuk ini akan menyelimuti api sehingga terjadi pemisahan (isolasi) dari
oksigen di udara.
Sifat
sifat yang kurang menguntungkan air yang perlu dipertimbangkan sebagai media
pemadam api antara lain adalah (1) air mudah membeku pada temperatur dingin,
(2) bila viskositas naik maka air lebih sulit dipompa, (3) merupakan konduktor
yang baik sehingga tidak cocok untuk api jenis C dan (4) density air relatif
tinggi sehingga bila yang terbakar adalah minyak, oli dan lain sebagainya maka
nyala api akan berada di atas air dan tidak padam.
2. Busa (foam)
Busa atau
foam terbentuk bila udara atau gas terjebak di dalam media cairan. Busa
mempunyai efek menyelimuti dan mendinginkan api. Sebagai media pemadaman api busa dibuat dari campuran antara air,
udara dan campuran busa.
Proses
pembuatan busa terdiri dari dua tahap yaitu (1) konsentrat busa dicampur dengan
air bertekanan sehingga terbentuk larutan busa dan (2) larutan busa dicampur
dengan udara sambil disemprotkan sehingga terbentuk busa siap memadamkan api.
Gambar 3.2 menunjukkan proses ini.
Gambar 3. Proses Pembuatan Busa
3. Karbon dioksida
Karbon
dioksida dipakai sebagai media memadamkan api karena sifatnya yang dapat
mengganggu proses oksidasi pada bahan yang terbakar. Bila oksigen berkurang
sampai kurang dari 15 % maka proses kebakaran akan berhenti. Karbon dioksida
mempunyai sifat yang tidak konduktif maka bisa dipakai untuk kebakaran jenis C
(listrik bertegangan), namun demikian tidak cocok untuk pemakaian kebakaran
yang sudah meluas atau di tempat terbuka.
4. Gas halon
Halon
merupakan keluarga dari senyawa halogenated hydrocarbon yang semua atau
sebagian atom hidrogennya diganti dengan fluorine, chlorine atau bromine.
Senyaea hidrocarbon yang paling sering digunakan adalah metane atau ethane.
Material ini memadamkan api dengan cara menekan terjadinya reaksi rantai
kebakaran. Sayang bahwa halon merusak atmosfer sehingga tidak dipergunakan lagi
sebagai media pemadam kebakaran. Sebagai penggantinya dipakai gas pasca halon.
5. Bubuk kimia
kering (dry chemical powder)
Bubuk
kering dari zat kimia tertentu dapat memadamkan api. Zat kimia yang biasanya
digunakan untuk ini adalah sodium, potasium atau urea bikarbonat. Namun dapat
juga dipergunakan potassium chloride atau mono-ammonium phospat. Cara
memadamkan api media ini adalah dengan isolasi, pendinginan, dan mengganggu
proses reaksi rantai.
Bubuk
kimia kering dapat digunakan baik untuk kebakaran lokal (dalam ruang) maupun di
tempat terbuka (api besar). Mempunyai sifat tidak beracun dan bukan konduktor
sehingga bisa dipakai untuk kebakaran jenis C.
Efektifitas masing-masing media pemadam api disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Efektifitas Media Pemadam Kebakaran
No
|
Jenis Bahan Yang Terbakar
|
Media pemadam Api Yang Dipergunakan
|
||||
Api Kecil Memakai APAR
|
Api Besar
|
|||||
Tepung Kering
|
gas CO2
|
Busa
|
Air
|
|||
1
|
Benda yang terbakar meninggalkan abu
|
●●
|
●
|
●
|
●●
|
Air bertekanan dgn menggunakan jet spray nozzle
|
2
|
Plastik, lilin, cat, lemak, oli, alkohol, ether dan
bensin
|
●●
|
●●
|
●●
|
|
Busa atau air bertekanan dgn fog-nozzle
|
3
|
Gas methan, propan, butan, acetilene, dll
|
●●
|
●●
|
|
|
Dengan uap, gas CO2 , bertekanan
|
4
|
Listrik yang masih bermuatan
|
●●
|
●●
|
|
|
Tepung kimia atau gas CO2
|
5
|
Kendaraan bermotor
|
●●
|
●●
|
|
|
|
6
|
Logam (magnesium, titanium dll)
|
Bubuk kimia kering
|
Catatan:
● : bisa
dipergunakan
●● : paling baik
dipergunakan
APAR : Alat Pemadam Api Ringan (Fire Extinguishers)
3.4. Alat Pemadam
Api
Alat
pemadam api telah berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Secara garis besar alat pemadam api ini dapat dibedakan menjadi (1)
alat pemadam api gerak yaitu alat pemadam api yang dapat dipindahkan dari satu
tempat ke tempat yang lain dengan mudah misalnya: alat pemadam api ringan
(APAR), mobil pemadam api dan lain sebagainya. (2) pemadam api instalasi tetap
misalnya springkle, hydrant dan lain sebagainya.
3.4.1. Alat
pemadam api ringan (APAR)
Alat
pemadam api ringan (APAR) atau fire extinguisers adalah alat pemadam api yang
mudah dipergunakan oleh satu orang untuk memadamkan api pada awal terjadinya
kebakaran. APAR dapat berupa tabung jinjing, gendong maupun beroda. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa APAR berhasil menanggulangi sekitar 30 %
kejadian kebakaran. Oleh karena sifatnya yang hanya dapat menanggulangi
kebakaran awal dan mudah dipergunaka oleh satu orang maka APAR biasanya hanya
mempunyai durasi semprot yang relatif singkat (dalam bilangan menit).
|
Berdasarkan
konstruksinya APAR biasanya dibuat dalam dua kelompok yaitu (1) stored pressure type (SPT) dan (2) gas cartridge type (GCT). Stored pressure type (tersimpan
bertekanan) adalah APAR yang memakai gas pendorong bertekanan tercampur bersama
media pemadamnya. Gas pendorong yang dipakai adalah Nitrogen (N2). Ciri luar
dari APAR ini biasanya ada penunjuk tekanan gas diluarnya. Sedangkan gas cartridge type adalah jika gas
pendorong terletak pada cartridge tersendiri, terpisah dari media pemadamnya.
Gas yang dipergunakan biasanya adalah gas CO2 (carbon dioksida atau
gas asam arang. Dilihat dari media pemadamnya APAR yang sering dipakai adalah (1)
jenis air, (2) busa (foam), (3) tepung kimia kering (dry chemical powder), (4) halon serta pasca halon dan (5) gas asam
arang (CO2 ).
Secara
singkat cara mengoperasikan APAR adalah sebagai berikut.
T.A.Te.S
|
|
1. Tarik pin pengunci
|
2. Arahkan selang ke dasar api
|
3. Tekan Handle
|
4. Sapukan ke seluruh permukaan api
|
1. APAR Jenis Air
Pada jenis
ini media pemadamnya berupa air yang terletak pada tabung. Dibuat dalam dua
konstruksi yaitu SPT dan GCT. Jarak jangkau pancaran sekitar 10 ft sampai 20
ft. Dan waktu pancaran sekitar satu menit untuk kapasitas 2,5 galon. Hanya
direkomendasikan untuk kebakaran jenis A, dengan luas bidang jangkauan sekitar
2500 ft persegi, jarak penempatan setiap 50 ft.
2. APAR Jenis Busa
Tabung
utama berisi larutan sodium bikarbonat (ditambah dengan penstabil busa). Tabung
sebelah dalam berisi larutan aluminium sulfat. Campuran dari kedua larutan
tersebut akan menghasilkan busa dengan volume 10 kali lipat. Busa ini kemudian
didorong oleh gas pendorong (biasanya CO2 ). Kapasitas yang ada di
pasaran adalah 2,5, 10, 20 dan 30 galon. Jangkauan semprot sekitar 10 sampai 15
meter untuk yang 2,5 galon habis dalam satu menit. Sedang yang 30 galon
biasanya tipe beroda dengan jangkauan sampai 20 meter dengan waktu sampai 4
menit.
Gambar 3.
Pemadaman
dengan busa diperuntukan cairan mudah terbakar (bensin, solar dan lain
sebagainya). Busa akan menutup (menyelimuti) seluruh permukaan yang mudah
terbakar sehingga mengisolasi oksigen. APAR jenis ini tidak direkomendasikan
untuk kebakaran karena karbon disulfida, ether, tiner dan alkohol karena cairan
ini bersifat merusak busa.
APAR jenis
busa harus digunakan sampai habis karena tidak bisa digunakan ulang. Untuk
pemeliharaan check kondisi nosel setiap bulan dan lakukan uji hidrostatik
setiap tahun.
3. APAR Jenis
Karbon Dioksida
APAR jenis
ini memadamkan dengan cara isolasi (smothering) di mana oksigen diupayakan
terpisah dari apinya. Di samping itu CO2 juga mempunyai peranan
dalam pendinginan. Material yang diselimuti oleh CO2 akan cenderung
lebih dingin.
Konstruksi
APAR ini terdiri dari tabung tahan tekanan tinggi yang berisi gas CO2 ,
pipa siphon, katup dan corong. Bila katup dibuka maka cairan gas akan mengalir
dan berubah menjadi es dan gas. Bila tabung telah dipakai 10 % maka harus diisi
kembali. APAR jenis ini dapat dipergunakan untuk cairan yang mudah terbakar dan
peralatan listrik. Dapat juga untuk api kelas A tetapi tidak boleh dipakai
untuk kelas D. Di pasaran tersedia baik untuk yang jenis portable maupun
beroda. Dapat dipakai untuk berbagai cairan mudah terbakar yang merusak busa
(dimana APAR busa tidak bisa digunakan).
Gambar 3.
APAR jenis
CO2 tidak korosif dan tidak meninggalkan bekas. Tidak menghantar
listrik, namun kualitasnya akan menurun bila tidak digunakan dalam waktu yang
lama. Bila bobot turun sampai 10 % maka perlu diisi ulang.
4. APAR Jenis
Serbuk Kimia Kering (dry chemical powder)
APAR jenis
ini berisi tepung kering sodium bikarbonat dan tabung gas karbon dioksida atau
gas nitrogen (di dalam cartridge) sebagai pendorongnya. Gas pendorong bisa
ditempatkan dalam tabung atau di luar tabung. Tepung kimia kering bersifat
cepat menutup material yang terbakar, dan mempunyai daya jangkau menutup
permukaan yang cukup luas.
Agar
serbuk terdorong dan keluar bersama gas pendorong maka cara pengoperasian dari
APAR ini adalah dengan membuka kunci penutup atau menekan handlenya agar pin
terputus. Jarak jangkau semprotan dan lamanya waktu semprot tergantung dari
ukuran APAR.
APAR jenis
ini terdapat di pasaran baik berupa jinjing, gendong, beroda maupun stationary.
Untuk jenis stationary biasanya dipasang pada mobil pemadam kebakaran atau
kendaraan emergency lain.
Direkomendasikan
untuk penanggulangan kebakaran cairan di tempat terbuka seperti tangki di luar
ruang, ceceran minyak, kebakaran jenis listrik bertegangan, dan pabrik tekstil
(cotton, wool atau rayon). Namun tidak direkomendasikan untuk klasifikasi
kebakaran jenis A yang besar dan kebakaran karena logam (jenis D).
Untuk
tandon cairan mudah terbakar yang berada dalam ruangan maka APAR ini tidak
direkomendasikan karena akan banyak terdapat asap yang menghalangi proses
pemadaman. Pemasangan APAR ini sebaiknya dibantu dengan hidran lengkap dengan
selangnya. Hal ini untuk memadamkan bara api yang terjadi.
5. APAR Jenis Gas Halon
dan Pasca Halon.
APAR jenis ini biasanya berisi gas halon yang terdiri dari unsur-unsur
karbon, fluorine, bromide dan chlorine. Contoh: Halon 1211 berarti angka
pertama 1 artinya jumlah atom karbon (C) adalah 1; Fluorine (F) 2 (angka ke
dua); chlorine (Cl)1 (angka ke tiga) dan bromide (Br) 1 (angka ke empat). Namun
sejak diketemukan lubang pada lapisan ozon yang diduga disebabkan oleh salah
satu unsur gas halon maka menurut perjanjian Montreal gas halon tidak boleh
dipergunakan lagi, dan mulai 1 Januari 1994 gas halon tidak boleh diproduksi.
Sebagai pengganti halon dipergunakan gas pasca halon yang antara lain adalah
HCFC 241 produksi Du Pont, HBFC 22B1 produksi Great Lake, dan lain sebagainya.
3.5. Pemercik Air
Otomatis
3.5.1. Penggunaan
Pemercik Otomatis
Pemercik
air otomatis (automatic sprinklers) merupakan sarana pemadam kebakaran
instalasi tetap yang paling sering digunakan/dipasang pada gedung-gedung.
Sistem ini harus dilengkapi dengan persediaan air yang cukup, jaringan pipa
distribusi, pompa, katup, alarm dan sarana monitor lainnya.
Gambar 3.5. Tipikal Instalasi Pemercik Air Otomatis Pada Gedung/Bangunan
Gambar 3.6. Sistem suplai air
Sistem ini bekerja apabila gelas (quartzoid bulb) pada kepala sprinklers pecah karena panas. Dengan
pecahnya quartzoid bulb ini maka air bertekanan memercik ke seluruh tempat
yang kebakaran dan memadamkan api.
Sistem pemercik otomatis terdiri dari:
(1) Sistem deteksi kebakaran baik merupakan bagian dari
sistem sprinklers ataupun bagian dari detektor lainnya
(2) Unit pengontrol yang merespon deteksi dini ini
(3) Suplai air yang cukup baik volume maupun tekanannya
sesuai klasifikasi bangunan yang dilindungi
(4) Sistem pipa distribusi
(5) Sprinkler heads yang diletakkan sedemikian sehingga dapat
memercikan air yang mengarah kepada letak kebakaran
(6) Sistem penanda bahaya kebakaran otomatis yang biasanya
berupa bunyi-bunyian dan hubungan ke unit pemadam kebakaran lainnya.
3.5.2. Jenis
Sistem Pemercik Otomatis
Secara garis besar sistem pemercik otomatis dikategorikan
menjadi (1) sistem pipa basah, (2) sistem pipa kering, (3) sistem deluge dan
(4) pre action system.
1. Sistem pipa
basah
Pemercik
otomatis disebut sebagai sistem pipa basah (wet pipe system) ialah apabila seluruh
pipa distribusi sampai ke sprinkler terisi air bertekanan. Sistem ini memakai
kepala sprinkler otomatis. Apabila gelas pada kepala sprinklers pecah karena
panas maka air bertekanan segera memancar keluar memadamkan area yang terbakar.
Air akan memancar hanya pada daerah yang sprinklernya pecah saja.
2. Sistem pipa
kering
Pada
sistem pipa kering pipa distribusi tidak tersisi air. Sistem ini dipakai
apabila tempat atau bangunan yang dilindungi mempunyai kemungkinan
bertemperatur dingin sedemikian sehingga air di dalam pipa distribusi dan
sprinklers membeku. Tempat seperti ini misalnya ruang refrigerator, bangunan di
tempat dingin dan lain sebagainya.
Di dalam
pipa distribusi tidak berisi air melainkan gas nitrogen atau udara bertekanan.
Apabila terjadi kebakaran maka sprinklers akan pecah, gas terdorong keluar
sambil menghidupkan kontrol aliran air bertekanan yang kemudian memancarkan air
untuk memadamkan kebakaran. Air hanya memancar pada daerah yang sprinklernya
pecah saja.
3. Deluge system
Deluge
system atau system banjir atau sistem pancaran serentak biasanya dipasang pada
tempat atau bangunan yang berisi material mudah terbakar secara keseluruhan
misalnya gudang busa polyester, bagian pengeringan hardboard, polyurethane,
hanggar pesawat terbang dan lain sebagainya. Pada sistem ini semua sprinkler
dalam keadaan terbuka, kemudian apabila ada sinyal kebakaran dari sistem
deteksi maka seluruh sprinkler akan memancarkan air. Jadi sistem pancaran
serentak ini dihubungkan dengan pengontrol lain yang berfungsi untuk
memberitahu adanya kebakaran pada tempat itu.
4. Pre-acthon system
Sistem ini
bertujuan untuk membantu mempercepat aliran air pada sistem kering. Pada
dasarnya konstruksi terdiri dari gabungan standard sprinkler system dengan alat
pengindera kebakaran (baik smoke ataupun heat detector). Pada saat awal
pengindera mencium adanya bahaya kebakaran maka sistem langsung bekerja mengisi
air pada pipa distribusi springkler, sehingga air sudah terisi sebelum
sprinkler pecah karena panas. Jadi ketika sprinkler pipa sistem kering pecah
maka di dalam pipa sudah berisi air yang langsung memancar pada tempat yang
terbakar.
3.5.3. Kepala
Pemercik Otomatis
Kepala
pemercik otomatis betugas untuk memancarkan air apabila telah mendapat sinyal
deteksi kebakaran. Apabila Quartozoid bulb (Gambar a) pecah atau Pengunci
(Gambar b) terlepas karena panas maka air langsung memancar mengenai deflektor
dan akan dipancarkan menyebar ke seluruh daerah jangkauan pemercik otomatis.
(a)
(b)
Gambar 3.7. Contoh Kepala Pemercik Otomatis
Kepala
pemercik otomatis akan aktif memancarkan air bila temperatur pada ruangan cukup
untuk memecahkan quartozoid bulb (jenis a) atau memutus pengunci (jeins b).
Temperatur ini disebut “temperature rating” dan biasanya besarnya sekitar 60 oC
sampai 70 oC. Namun untuk beberapa tempat dengan pertimbangan
tertentu di pasaran juga tersedia kepala pemercik dengan temperature rating
yang lebih tinggi.
Tabel
Klas Bahaya Kebakaran
|
Temperatur Rating
|
Warna Kepala Pemercik
|
|
Derajat. F.
|
Derajat. C.
|
||
Ordinary (Biasa)
|
160
|
70
|
Bronze atau tak berwarna
|
Intermediate (Menengah)
|
220
|
100
|
Putih
|
High (Tinggi)
|
280
|
140
|
Biru
|
Extra High (Ekstra tinggi)
|
360
|
180
|
Merah
|
Catatan: Klas bahaya kebakaran ditentukan oleh ruang atau
bangunan atau aset yang
dilindungi.
3.6. Detektor
Kebakaran
Bahaya kebakaran akan semakin mudah dikendalikan apabila diketahui sesegera
mungkin. Baik pengendalian yang bersifat keselamatan manusia dan aset maupun
tatacara pemadamannya. Dalam situasi seperti ini maka peralatan deteksi dini kebakaran
yang handal sangat menentukan kecepatan waktu penyebaran informasi. Tipikal
instalasi sistem deteksi dini kebakaran adalah seperti Gambar 3.8.
Gambar
Apabila
detektor kebakaran mendeteksi adanya kebakaran maka informasi ini ditransfer
melalui jaringan elektronik ke pusat pengendali. Pusat pengendali kemudian
membunyikan alarm bahaya, mengaktifkan sistem pemadaman lokal misalnya sistem
sprinklers dan pada kondisi tertentu langsung menginformasikan ke sistem
pemadaman api di luar. (misalnya PMK kota atau kabupaten).
Sistem deteksi kebakaran bekerja berdasarkan perubahan kondisi
lingkungan lokal karena kebakaran seperti adanya asap, peningkatan temperatur,
adanya nyala, radiasi panas dan lain sebagainya. Berdasarkan perubahan
lingkungan lokal ini maka detektor kebakaran akan bekerja untuk memberikan
informasi kebakaran. Detektor kebakaran yang biasanya dipergunakan adalah (1)
detektor asap, (2) detektor panas dan (3) detektor nyala. Namun demikian
seiring dengan perkembangan teknologi maka telah berkembang berbagai detektor
kebakaran yang semakin peka dan canggih.
1. Detektor Asap
Detektor
asap yang sering dipakai adalah (1) detektor asap ion dan detektor asap dengan.
Detektor asap ion bekerja berdasarkan keseimbangan ion positif dan ion negatif.
Sebuah sumber radioaktif menghasilkan ion positif dan ion negatif. Pada keadaan
tidak ada asap maka ion positif dan ion negatif seimbang. Namun pada kondisi
berasap maka keseimbangan ion positif-negatif terganggu. Gangguan ini memicu
jaringan elektris untuk memberi tahukan ketidak normalan sistem ke pusat
pengendali. Gambar 3.
|
Gambar 3. Detektor Asap Tipe Ion
Detektor asap optis (obscuration
detector) seperti Gambar 3. bekerja
apabila ada gangguan sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya pada sensor
photo elektris. Sebuah sumber cahaya memancarkan sinar dan mengenai sensor
photo elektrik. Bila ada asap maka cahaya dari sumber cahaya akan terganggu
sehingga memicu sensor untuk memberikan sinyal kepada pusat pengendali
kebakaran yang kemudian meneruskan ke berbagai unit pencegahan.
Gambar 3. Detektor Asap Tipe Optik
2.
Detektor Panas
Salah satu contoh detektor panas adalah seperti pada
sprinklers yang sudah dibahas dalam Bab. 3.5.3 di atas. Dimana air akan
memancar bila quartozoids bulb atau pengunci terkena panas. Contoh lain adalah
detektor asap dengan menggunakan termistor sebagai sensornya.
|
|
Gambar 3. Detektor Asap Dengan Termistor
Termistor ini
akan berkurang tahanannya bila terkena panas.
Pengurangan tahanan pada termistor akan memicu sinyal ke pusat pengendali
kebakaran dan mengaktifkan semua unit yang diperlukan untuk penanggulangan kebakaran.
3. Detektor Nyala.
Detektor
nyala akan diaktivasi apabila ada nyala api pada daerah jangkauannya. Salah
satu contoh detektor nyala adalah detektor infrared dan ultraviolet. Nyala api
pada dasarnya mengeluarkan tiga macam cahaya yaitu (1) cahaya yang terlihat
mata (visible light), (2) radiasi infra-red dan (3) radiasi ultra-violet. Kombinasi
dari infra-red dan ultra violet detector sangat peka dan cepat dalam mendeteksi
terjadinya api, oleh karena itu cocok untuk bahaya ledakan yang menimbulkan kebakaran
atau untuk bangunan yang luas dan mempunyai plafon tinggi.
|
|
Gambar 3. Detektor Nyala Radiasi
Infra-Red
Apabila
terjadi nyala api yang tertangkap oleh detektor maka filter infra-red hanya
akan meneruskan radiasi infra-red melalui lensa. Kemudian radiasi ini ditangkap
oleh light sensing element yang meneruskannya ke time delay dan deskriminator
frekuensi. Radiasi nyala infra-red mempunyai frekuensi yang unik yang
membedakan dengan radiasi yang bukan dari nyala api, sehingga dapat menjamin
kepastian bahwa yang tertangkap adalah radiasi karena nyala api. Keberadaan
radiasi ini kemudian memicu rangkaian elektronik mengirim sinyal ke pusat
pengendali kebakaran.
Instalasi pemadam kebakaran otomatis
secara garis besar dapat disajikan seperti Gambar. 3.
.
Langganan:
Postingan (Atom)